Jikalah beragama hanya dengan tekstualitas saja, maka disinilah agama menjadi fosil yang membeku, karena ditakuti oleh cara beragama yang ekslusif itu. Kondisi yang demikian juga membuat umat beragama jauh dari kemajuan, jauh dari kedamaian, jauh dari kemaslahatan itu sendiri. Buku ini, berhasrat kuat untuk menjelaskan dampak beragama yang tidak ramah itu, cara beragama wajah radikal dan wajah yang tidak bisa berdialogis itu. Tawaran menarik di buku ini adalah, bagaimana beragama itu menjadi sebuah lokus kehidupan yang peradaban, kalau dalam Islam seperti peradaban masa Nabi di Madinah, dimana ada upaya keras Nabi untuk membangun kehidupan penuh dengan kedamaian itu, satu sama lain tidak membenturkan agama dengan di luar pemahamannya, tetapi agama direpresentatifkan dengan layaknya sebuah ajaran yang membawa kedinamikaan dan kesejahteraan dunia dan akhirat.
Maka oleh sebab itu, Nabi merumuskan bentuk kehidupan yang dinamik itu melalui adanya benang perekat dalam Piagam Madinah, ini sekaligus perjanjian moderasi beragama pada masa Rasulullah. Pertanyaannya sekarang, mengapa masih menjadi radikal? Inilah yang patut dicermati dalam memahami kondisi keberagamaan. Buku ini membawa kita untuk memahami hal tersebut, kemudian meyakinkan kepada kita bahwa radikakalisme itu berpotensi mengancam terhadap kepunahan, dan hilangnya nilai-nilai lokal yang selama ini telah menjadi bahagian penting dalam mengisi bentuk kehidupan berperadaban yang lebih baik.